Disaat sedang WFH begini, aku pribadi lebih senang menghabiskan waktu dengan beraktifitas di kamar kecilku. Sekedar membaca buku, mengedit foto, atau yang lainnya. Nah…saat asik bersantai di tempat tidur, tiba-tiba muncul ingatan tentang kejadian 8 tahun silam. Kenangan yang entah bisa ku anggap menakutkan, menyenangkan, atau mengesalkan. Begini kisahnya.
Saat itu, aku masih menjadi mahasiswa pada salah satu universitas yang cukup terkemuka di Pulau Sumatera dan tergabung dalam UKM Pramuka-nya. Kemudian, beberapa anggota di UKM tersebut berencana akan melakukan pendakian ke Gunung Sinabung. Banyak diantaranya yang ingin bergabung. Semuanyapun dipersiapkan mulai dari logistik, transportasi, hingga fisik. Saat itu, kami semua juga masih ilmu pendakian dan memakai perlengkapan dan pakaian seadanya.
24 Desember 2012, tim berkumpul dan berangkat dari Medan menuju tanah Karo. Tibalah akhirnya di Danau Lau Kawar; titik mula jalur pendakian Sinabung. Kami beristirahat sembari menunggu rekan-rekan yang menyusul.
Kenapa memilih Gunung Sinabung untuk pendakian? Entah lah, akupun tak tau alasannya. Hanya saja…karena jarang berkegiatan di alam, ajakan tersebut terdengar menarik. Aku juga sama sekali tidak mencari tau info tentang gunung tersebut. Yang penting berangkat, begitu pikirku.
Fyi, tim pendakian kali ini mungkin berjumlah lebih kurang 24 orang (tidak ingat) dengan perbandingan laki-lakinya lebih banyak dan dibagi menjadi 3 kelompok. Dari semua anggota tim, ada juga yang belum pernah naik gunung sama sekali.
Tengah malam tiba…kami mempersiapkan diri dan keperluan lainnya, kemudian berkumpul di pos pendakian. Diberi arahan beberapa saat dan 1 orang ranger (yang umurnya jauh lebih muda dari kami semua) akan mendampingi kami untuk summit.
Menurut mitos setempat, wanita yang sedang “halangan” dilarang untuk mendaki. Kebetulan ada salah satu rekan tim yang demikian dan ngotot untuk tetap ikut dalam perjalanan. Awalnya tidak diizinkan tetapi karena ada beberapa pertimbangan lagi, maka izinpun diperoleh.
Selang beberapa menit dari pintu rimba, kami jalan di tempat itu-itu saja sebanyak lima kali putaran hingga ranger nya hampir menyerah. Dilakukanlah kembali do’a bersama dan diingatkan untuk meluruskan niat, akhirnya jalan mulai terbuka dan perjalanan dilanjutkan.
Kemudian muncul lagi masalah baru. Kali ini disebabkan seorang rekan tim yang agak sombong dan takabur. Tak beberapa lama kemudian, ia mulai teriak-teriak karena melihat beberapa makhluk halus yang terus mengikutinya.
Dalam hati mulai berkecamuk. Dengan terus membaca ayat-ayat Al-Qur’an, ku langkahkan kaki dengan pandangan lurus ke depan dan tak menoleh ke sisi kanan atau kiri sedikitpun. Sejak saat itu, beberapa dari kami mendengar suara-suara aneh yang terdengar jelas di telinga, namun kami hanya saling pandang satu sama lain.
Beberapa lama kami berjalan, sampailah kami di batu cadas dengan kondisinya yang lumayan terjal (hampir 45 derajad). Saat itu sekitar pukul 04.30 Wib. Dikarenakan kondisi masih cukup gelap, kami jalan terpisah membentuk zigzag agar tidak terkena batu yang jatuh dari atas, bahkan ada yang merangkak untuk melewatinya. Aku sendiri hanya mengandalkan headlamp dan mendengarkan suara rekan lain yang memberikan isyarat “Batu”, agar segera mengelak. Sedangkan rekan yang diikuti makhluk halus tadi, akhirnya memilih berenti karena tidak sanggup lagi naik hingga atas. Tentunya ditemani beberapa rekan lain dan sisanya melanjutkan jalan.
Sebenarnya aku juga sempat berpikir untuk menyerah karena letih dan kaki sudah mulai lemah. Namun mendapatkan semangat dari rekan-rekan, yang membuatku harus terus berusaha. Sebab, jika aku tidak melanjutkan perjalanan maka akan bertambah rekan-rekan yang terhenti.
Pelah-pelan ku langkahkan kaki hingga menuju puncak. Rasa lelahpun terbayarkan dengan suguhan pemandangan dari atas. Ranger kami pun meminta izin untuk segera balik lebih cepat, dikarenakan itu hari yang penting baginya; Natal.
Kami menghabiskan waktu untuk berfoto, mengisi perut yang kosong dan bercanda hingga pukul 10.00 WIB. Menunggu matahari naik, agar tidak terlalu dingin saat perjalanan turun.
Kembali lagi, satu persatu mulai menuruni jalur terjal batu cadas. Semuanya terkejut melihat kondisi jalur yang kami lalui saat gelap tadi; curam, berbatu, dan jika jatuh akan disambut jurang. Rekan yang tadi menyerah, juga sudah tidak tampak.
Kami jalan perlahan hingga sampai di shelter 4, terlihat ada orang yang ditutupin kain. Kain tersebut persis seperti yang dipakai rekan kami yang ikut dibawa turun oleh ranger tadi. Kami bergegas dan mencoba cek, dan benar…itu rekan kami yang terkapar tak sadarkan diri. Ditinggal sendirian oleh ranger kami tadi. Kami berusaha membangunkannya, namun tidak ada respon dan ia sudah terlihat pucat pasi.
Tanpa berpikir lama, semua bergerak. Ada yang menyelimutinya dengan semua sleeping bag dan ada membuat tandu darurat dari batang pohon guna evakuasi.
Berganti-gantian tandu itu dibopong. Kondisi sedang hujan, sehingga tanah yang dipijaki juga berlumpur dan licin. Kami semua saling menguatkan dan memberi semangat satu sama lain, agar tidak ada lagi korban selanjutnya. Kami bertemu tim SAR, setelah berada di pintu rimba.
Sesampainya kembali di Lau Kawar, beberapa rekan mendatangi pos pendakian untuk meminta klarifikasi. Tidak ada tindak lanjut dari pihak pos, atas sikap ranger tsb.
Saat semua beristirahat di tenda karena kelelahan dengan kondisi baju kumuh masih melekat di badan, rekan kami yang jadi “korban” tadi malah datang menghampiri dengan wajah segar dan sudah wangi. Kami semuanya memandangnya dengan sangat-sangat heran.
Note: beberapa dari foto di atas tidak urut sesuai waktu
Posting Cerita Hororku: Pengalaman Perdana Pendakian Gunung Sinabung ditampilkan lebih awal di Backpacker Jakarta.
from Backpacker Jakarta https://ift.tt/3ecN3hN
via IFTTT
Komentar
Posting Komentar