Ada dua titik di peta Bali yang akan selalu punya tempat khusus di hatiku: Amed dan Tulamben. Dua nama yang bukan hanya menyimpan keindahan bawah laut, tapi juga menyimpan cerita bagaimana aku bisa enjoy the moment tanpa rasa panik sedikitpun.
Tulamben memikatku dengan wreck-nya yang gagah. Di antara rangka kapal yang berlumut dan berkarang, aku menemukan ikan fairybasslet yang berwarna kuning dan ungu begitu indah, berenang riang seolah lautan adalah taman bermain mereka. Ada pula barracuda yang menakjubkan besar yang mengagetkanku, anggun, dan penuh wibawa. Tulamben membuatku jatuh cinta, bukan hanya pada lautnya, tapi juga pada rasa damai yang ia berikan.
Lalu ada Amed, dengan site favoritku: Jemeluk Bay. Site ini adalah wall dive yang memanjakan mataku. Ada sensasi berbeda saat menyusuri dinding laut, seolah aku melayang di tepi dunia. Di sana, aku menjadi diriku sendiri. Tidak ada rasa malu, takut, apalagi keinginan untuk buru-buru mengakhiri. Rasanya aku ingin berada di laut selamanya, menyelam lebih dalam, menghirup setiap momen.
Di bawah sana, aku hanya merasakan satu hal: excited. Tidak ada lagi tarikan napas yang terburu-buru, tidak ada lagi tangan yang gemetar karena takut. Hanya aku, laut, dan segala keindahan yang ada di hadapanku. Tapi anehnya, setiap kali aku naik kembali ke permukaan, seolah aku kembali menjadi “robot”. Bergerak, berfungsi, tapi kehilangan kehangatan yang kumiliki di bawah air.
Tapi kenyataan tak bisa kuabaikan. Dive trip selesai, dan aku harus kembali ke daratan. Kembali menjadi “aku” yang tak sepenuhnya utuh di permukaan. Namun di dalam hatiku, Amed dan Tulamben akan selalu mengingatkan bahwa di bawah laut sana, aku pernah benar-benar hidup, benar-benar menjadi diriku.
Views: 0
Posting Wreck, Wall, and Feeling Left Behind in Amed & Tulamben ditampilkan lebih awal di .
from https://ift.tt/3xKlkFL
via IFTTT
Komentar
Posting Komentar